Program Pemerintah dalam Kebijakan Pertumbuhan Penduduk

1. Keluarga berencana

Keluarga berencana merupakan usaha pokok di dadam kebi­jaksanaan kependudukan umumnya dan usaha menurunkan tingkat kelahiran khususnya. Usaha menurunkan kelahiran me­lalui keluarga berencana sekaligus dikaitkan dengan meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak. Sasaran usaha keluarga beren­cana adalah seluruh lapisan masyarakat dan jangkauan daerah usaha keluarga berencana diperluas ke daerah luar Jawa dan daerah pedesaan. Tujuan usaha keluarga berencana bukan hanya memperbanyak jumlah akseptor tetapi mempertahankan agar keluarga-keluarga penerima tetap melaksanakan keluarga berencana.

Oleh karena berhasilnya keluarga berencana pada akhirnya akan ditentukan oleh kesadaran pada masing-masing keluarga, maka cara yang ditempuh dalam keluarga berencana akan me­nekankan bukan hanya cara-cara klinis tetapi juga cara-cara nonklinis. Selanjutnya kegiatan pembangunan di dalam berbagai bidang diserasikan agar dapat menunjang pelaksanaan keluarga berencana. Kegiatan ini mencakup pendidikan dan pendidikan kependudukan, motivasi ke arah keluarga kecil, dan menurunkan angka kematian anak-anak.

2. Pendidikan dan pendidikan kependudukan

Intensifikasi pendidikan baik formal maupun nonformal akan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan mengenai masalah penduduk dan pentingnya pelaksanaan keluarga berencana. Te­tapi untuk lebih menyebarluaskan informasi mengenai kependu­dukan maka pendidikan kependudukan diintegrasikan ke dalam sistim pendidikan dan mencakup lembaga pendidikan guru, pen­didikan tingkat sekolah menengah dan pendidikan orang dewasa. Para lulusan sekolah menengah dan orang dewasa amat memerlukan informasi mengenai kependudukan oleh sebabmereka inilah yang akan membentuk keluarga dalam waktu relatip singkat.


3. Motivasi ke arah keluarga kecil

Usaha untuk memberikan motivasi ke arah tercapainya keluarga kecil dengan jumlah anak yang sedikit ditingkatkan. Dalam hubungan ini pemberian tunjangan keluar­ga dan kelonggaran lainnya di dalam sistem penggajian, pajak dan lain-lain, akan ditinjau dan disesuaikan dengan kebijaksanaan kependudukan. Selanjutnya sistem jaminan sosial teruta­ma untuk hari tua setahap demi setahap mulai ditingkatkan. Peningkatan sistem jaminan sosial ini penting oleh sebab masih luasnya pandangan bahwa banyak anak berarti banyak rezeki.

4. Menurunkan angka kematian anak-anak

Salah satu motivasi untuk mempunyai jumlah anak yang ba­nyak ialah bahwa anak merupakan sumber untuk meningkatkan pendapatan bagi keluarga berpendapatan rendah. Banyaknya anak yang tidak meneruskan sekolah adalah keadaan yang tim­bul oleh sebab rendahnya pendapatan orang tua mereka dan anak-anak ini dibutuhkan untuk dapat sekedar menambah pen­dapatan keluarga. Semakin tinggi tingkat kematian dikalangan anak dan bayi semakin besar pula kebutuhan akan tingkat kelahiran yang tinggi. Semakin banyak anak-anak yang lahir dan hidup dan mencapai umur dewasa semakin kecil kebutuhan untuk jumlah kelahiran yang besar. Oleh karena itu usaha untuk lebih meratakan hasil pembangunan akan menunjang usaha keluarga berencana di dalam menurunkan angka kela­hiran. Selanjutnya usaha-usaha di bidang kesehatan umumnya dan usaha meningkatkan kesehatan ibu dan anak dan menu­runkan angka kematian anak khususnya merupakan bagian daripada ikhtiar menurunkan tingkat kelahiran

5. Program Kesehatan Reproduksi Remaja

Tujuan program ini untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan, sikap dan perilaku positif remaja tentang kesehatan dan hak-hak reproduksi, guna meningkatkan derajat kesehatan reproduksinya dan mempersiapkan kehidupan berkeluarga dalam mendukung upaya peningkatan kualitas generasi mendatang. Kegiatan pokok yang dilakukan antara lain meliputi:
  1. Mengembangkan kebijakan pelayanan kesehatan reproduksi remaja bagi remaja.
  2. Menyelenggarakan promosi kesehatan reproduksi remaja, termasuk advokasi, komunikasi, informasi, dan edukasi, dan konseling bagi masyarakat, keluarga, dan remaja.
  3. Memperkuat dukungan dan partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan program kesehatan reproduksi remaja yang mandiri.
Share:

Penduduk Indonesia

Dengan jumlah total populasi sekitar 250 juta penduduk, Indonesia adalah negara berpenduduk terpadat nomor empat di dunia. Komposisi etnis di Indonesia amat bervariasi karena negeri ini memiliki ratusan ragam suku dan budaya. Meskipun demikian, lebih dari separuh jumlah penduduk Indonesia didominasi oleh dua suku terbesar.Dua suku terbesar ini adalah Jawa (41 persen dari total populasi) dan suku Sunda (15 persen dari total populasi). Kedua suku ini berasal dari pulau Jawa, pulau dengan penduduk terbanyak di Indonesia yang mencakup sekitar enam puluh persen dari total populasi Indonesia. Jika digabungkan dengan pulau Sumatra, jumlahnya menjadi 80 persen total populasi. Ini adalah indikasi bahwa konsentrasi populasi terpenting berada di wilayah barat Indonesia. Propinsi paling padat adalah Jawa Barat (lebih dari 43 juta penduduk), sementara populasi paling lengang adalah propinsi Papua Barat di wilayah Indonesia Timur (dengan populasi hanya sekitar 761,000 jiwa).

Peta Indonesia
Map of Indonesian Provinces Indonesia Investments
Lima Propinsi dengan Populasi Tertinggi (dalam jutaan)

     Propinsi       Populasi
1.  Jawa Barat         43.1
2.  Jawa Timur         37.5
3.  Jawa Tengah         32.4
4.  Sumatra Utara         13.0
5.  Banten (Jawa)         10.6
Sumber: Badan Pusat Stastik, Population Census 2010
Bagian ini membahas beberapa aspek penting menyangkut komposisi demografi Indonesia. Topik-topik yang dibahas antara lain pertumbuhan populasi Indonesia, struktur usia dan urbanisasi. Semua topik ini adakan dihubungkan dengan kinerja perekonomian Indonesia.

PERTUMBUHAN POPULASI INDONESIA

Indonesian Population GrowthTingkat pertumbuhan populasi Indonesia antara tahun 2000 dan 2010 adalah sekitar 1.49 persen per tahun. Pertumbuhan tertinggi terjadi di propinsi Papua (5.46 persen), sementara pertumbuhan populasi terendah terjadi di propinsi Jawa Tengah (0.37 persen). Program Keluarga Berencana (KB) dikoordinasi oleh institusi pemerintah, yaitu Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Program KB dimulai pada tahun 1968 semasa pemerintahan presiden Suharto dan sampai saat ini masih diteruskan oleh presiden2 penerusnya. Program ini adalah strategi penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia karena pertumbuhan populasi yang rendah akan menyebabkan tingkat PDB per kapita yang lebih tinggi, yang juga akan meningkatkan pendapatan, tabungan, investasi serta menurunkan tingkat kemiskinan. Pertumbuhan populasi diperkirakan sebesar sekitar 1.04 persen pada tahun 2012.

Menurut proyeksi yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan menilik populasi absolut Indonesia di masa depan, maka negeri ini akan memiliki penduduk lebih dari 250 juta jiwa pada tahun 2015, lebih dari 270 juta jiwa pada tahun 2025, lebih dari 285 juta jiwa pada tahun 2035 dan 290 juta jiwa pada tahun 2045. Baru setelah 2050 populasi Indonesia akan berkurang. Menurut proyeksi PBB pada tahun 2050 dua pertiga populasi Indonesia akan tinggal di wilayah perkotaan. Sejak 40 tahun yang lalu Indonesia sedang mengalami sebuah proses urbanisasi yang pesat makanya sekarang sekitar separuh dari jumlah total penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan. Proses ini menunjukkan perkembangan positif bagi perekenomian Indonesia karena urbanisasi dan industrialisasi akan membuat pertumbuhan ekonomi lebih maju dan menjadikan Indonesia negeri dengan tingkat pendapatan menengah ke atas.

    1995    2000    2005    2010    2050
 Populasi Rural
 (persentase populasi total)
      64      58      52      46      33¹
 Populasi Kota
 (persentase populasi total)
      36      42      48      54      67¹
Sumber: Bank Dunia

¹ Perkiraan PBB

STRUKTUR USIA DI INDONESIA

Salah satu kekuatan penting dalam komposisi demografi Indonesia yang memiliki hubungan dengan perekenomian adalah penduduk usia muda yang ada di Indonesia. Mereka adalah kekuatan kerja (asal ada cukup banyak kesempatan kerja). Rata-rata usia penduduk Indonesia adalah 28.2 tahun (perkiraan tahun 2011). Ini adalah median age yang berarti separuh dari populasi Indonesia berusia 28.2 tahun lebih dan separuhnya lagi umurnya di bawah 28.2 tahun. Mengenai jenis kelamin, rata-rata median age wanita di Indonesia adalah 28.7 tahun, sementara median age pria lebih muda setahun (27.7 tahun). Di bawah ini adalah persentase penduduk Indonesia yang dikategorikan dalam tiga kelompok usia dan jenis kelamin:

Persentase gabungan total populasiPria    (absolut)Wanita  (absolut)
0-14 tahun            27.3 34,165,213 32,978,841 
15-64 tahun            66.5 82,104,636  81,263,055 
65 tahun ke atas             6.1  6,654,695  8,446,603
Source: CIA World Factbook
Pada tahun 2010, sekitar 19 persen penduduk Indonesia adalah anak yang umurnya di bawah sepuluh tahun, sekitar 37 persen di bawah dua puluh tahun dan sekitar setengah populasi Indonesia berusia di bawah tiga puluh tahun. Angka-angka ini menunjukkan - dari perspektif demografis - bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam hal produktifitas dan kreatifitas.

DEMOGRAFI DAN GELOMBANG-GELOMBANG EKONOMI

Ikhtisar Umum
Peredaman pertumbuhan penduduk yang disebabkan oleh penurunan tingkat kesuburan (yang mungkin saja disebabkan oleh hal-hal seperti semakin mudahnya akses mendapatkan alat-alat kontrasepsi, pendapatan yang lebih tinggi, urbanisasi dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi untuk wanita) dapat membantu menstimulasi sebuah perubahan signifikan pada distribusi usia penduduk terhadap mereka yang masih dalam usia kerja (namun di kemudian hari penurunan angka kematian dan tingkat kesuburan akan menghasilkan populasi manula). Perubahan ini dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi karena penduduk usia kerja pun bertambah sementara jumlah (relatif) anak yang masih bergantung pada orang-tua berkurang. Proses ini dapat dianggap sebagai serangkaian gelombang. Gelombang pertama adalah ketika penduduk usia kerja mulai bekerja sehingga produksi pun menjadi meningkat. 

Dengan adanya pekerjaan berarti pendapatan pun menjadi lebih tinggi, rumah tangga pun akan menkonsumsi produk lebih banyak lagi. Rumah tangga akan menabung lebih banyak karena jumlah anak yang bergantung pada orang-tua berkurang sehingga tingkat investasi pun bertambah, sama seperti peningkatan modal dan pada akhirnya akan meningkatkan produksi perokonomian. Gelombang demografi yang kedua terjadi ketika sebagian besar penduduk usia kerja mendekati masa pensiun dan mulai menabung dan berinvestasi untuk hari tua. Dengan demikian, hasil peningkatan akumulasi modal tersebut dapat membantu mendorong pertumbuhan ekonomi secara lebih lanjut. Setelah tahap ini akan terjadi keprihatinan ekonomi karena adanya stagnasi pertumbuhan penduduk dan populasi manula yang meningkat.

Kasus Indonesia
Saat ini posisi Indonesia berada di bagian tengah gelombang yang pertama. Baik angka kelahiran maupun tingkat kesuburan sama-sama turun dengan cepat dan penduduk usia kerja meningkat dengan cepat sementara total populasi Indonesia tumbuh dengan lamban. Hasilnya adalah kelompok usia di bawah tiga puluh tahun yang cukup besar (sekitar setengah dari total populasi, sekitar 120 juta penduduk Indonesia), yang secara potensial masuk usia produktif sehingga bisa berfungsi sebagai mesin perekonomian nasional. Konsumsi domestik yang kuat telah menunjukkan dampak pada kinerja PDB Indonesia yang secara berkelanjutan terus kuat dan dan merupakan salah satu kunci pendorong pertumbuhan ekonomi. Konsumsi domestik yang terus kuat adalah salah satu alasan penting mengapa Indonesia mampu melewati krisis keuangan global tahun 2008-2009 dengan nilai rata-rata pertumbuhan PDB sekitar 5.6 persen pada tahun 2008-2010. Apalagi, karena pertumbuhan ekonomi yang solid banyak orang Indonesia sempat masuk warga kelas menengah. Menurut laporan Bank Dunia, sekitar tujuh juta warga Indonesia masuk ke dalam penduduk kelas menengah setiap tahun.

Meskipun demikian, jika boleh sedikit mengkritik, ada juga jutaan penduduk usia kerja yang berpendidikan namun tidak mendapatkan pekerjaan di Indonesia. Mereka tidak dapat diserap pasar tenaga kerja. Karakteristik lainnya dari Indonesia adalah tingkat pengangguran terutama terjadi pada penduduk usia 15 - 24 tahun, jauh di atas rata-rata nasional. Untuk detil lebih lanjut mengenai pengangguran di Indonesia, silakan baca halaman kami yang membahas tentang pengangguran.
Share:

Sejarah BKKBN

Periode Perintisan (1950-an – 1966)

Organisasi keluarga berencana dimulai dari pembentukan Perkumpulan Keluarga Berencana pada tanggal 23 Desember 1957 di gedung Ikatan Dokter Indonesia. Nama perkumpulan itu sendiri berkembang menjadi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) atau Indonesia Planned Parenthood Federation (IPPF). PKBI memperjuangkan terwujudnya keluarga- keluarga yang sejahtera melalui 3 macam usaha pelayanan yaitu mengatur kehamilan atau menjarangkan kehamilan, mengobati kemandulan serta memberi nasihat perkawinan.

Pada tahun 1967, PKBI diakui sebagai badan hukum oleh Departemen Kehakiman. Kelahiran Orde Baru pada waktu itu menyebabkan perkembangan pesat usaha penerangan dan pelayanan KB di seluruh wilayah tanah air.

Dengan lahirnya Orde Baru pada bulan maret 1966 masalah kependudukan menjadi fokus perhatian pemerintah yang meninjaunya dari berbagai perspektif. Perubahan politik berupa kelahiran Orde Baru tersebut berpengaruh pada perkembangan keluarga berencana di Indonesia. Setelah simposium Kontrasepsi di Bandung pada bulan Januari 1967 dan Kongres Nasional I PKBI di Jakarta pada tanggal 25 Februari 1967.

Periode Keterlibatan Pemerintah dalam Program KB Nasional

Di dalam Kongres Nasional I PKBI di Jakarta dikeluarkan pernyataan sebagai berikut:
PKBI menyatakan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pemerintah yang telah mengambil kebijaksanaan mengenai keluarga berencana yang akan dijadikan program pemerintah
PKBI mengharapkan agar Keluarga Berencana sebagai Program Pemerintah segera dilaksanakan.
PKBI sanggup untuk membantu pemerintah dalam melaksanakan program KB sampai di pelosok-pelosok supaya faedahnya dapat dirasakan seluruh lapisan masyarakat.

Pada tahun 1967 Presiden Soeharto menandatangani Deklarasi Kependudukan Dunia yang berisikan kesadaran betapa pentingnya menentukan atau merencanakan jumlah anak, dan menjarangkan kelahiran dalam keluarga sebagai hak asasi manusia.

Pada tanggal 16 Agustus 1967 di depan Sidang DPRGR, Presiden Soeharto pada pidatonya “Oleh karena itu kita harus menaruh perhatian secara serius mengenai usaha-usaha pembatasan kelahiran, dengan konsepsi keluarga berencana yang dapat dibenarkan oleh moral agama dan moral Pancasila”. Sebagai tindak lanjut dari Pidato Presiden tersebut, Menkesra membentuk Panitia Ad Hoc yang bertugas mempelajari kemungkinan program KB dijadikan Program Nasional.

Selanjutnya pada tanggal 7 September 1968 Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No. 26 tahun 1968 kepada Menteri Kesejahteraan Rakyat, yang isinya antara lain:
Membimbing, mengkoordinir serta mengawasi segala aspirasi yang ada di dalam masyarakat di bidang Keluarga Berencana.
Mengusahakan segala terbentuknya suatu Badan atau Lembaga yang dapat menghimpun segala kegiatan di bidang Keluarga Berencana, serta terdiri atas unsur Pemerintah dan masyarakat.

Berdasarkan Instruksi Presiden tersebut Menkesra pada tanggal 11 Oktober 1968 mengeluarkan Surat Keputusan No. 35/KPTS/Kesra/X/1968 tentang Pembentukan Tim yang akan mengadakan persiapan bagi Pembentukan Lembaga Keluarga Berencana. Setelah melalui pertemuan-pertemuan Menkesra dengan beberapa menteri lainnya serta tokoh-tokoh masyarakat yang terlibat dalam usaha KB, Maka pada tanggal 17 Oktober 1968 dibentukLembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) dengan Surat Keputusan No. 36/KPTS/Kesra/X/1968. Lembanga ini statusnya adalah sebagai Lembaga Semi Pemerintah.

Periode Pelita I (1969-1974)

Periode ini mulai dibentuk Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) berdasarkan Keppres No. 8 Tahun 1970 dan sebagai Kepala BKKBN adalah dr. Suwardjo Suryaningrat. Dua tahun kemudian, pada tahun 1972 keluar Keppres No. 33 Tahun 1972 sebagai penyempurnaan Organisasi dan tata kerja BKKBN yang ada. Status badan ini berubah menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berkedudukan langsung dibawah Presiden.

Untuk melaksanakan program keluarga berencana di masyarakat dikembangkan berbagai pendekatan yang disesuaikan dengan kebutuhan program dan situasi serta kondisi masyarakat. Pada Periode Pelita I dikembangkan Periode Klinik (Clinical Approach) karena pada awal program, tantangan terhadap ide keluarga berencana (KB) masih sangat kuat, untuk itu pendekatan melalui kesehatan yang paling tepat.

Periode Pelita II (1974-1979)

Kedudukan BKKBN dalam Keppres No. 38 Tahun 1978 adalah sebagai lembaga pemerintah non-departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Tugas pokoknya adalah mempersiapkan kebijaksanaan umum dan mengkoordinasikan pelaksanaan program KB nasional dan kependudukan yang mendukungnya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah serta mengkoordinasikan penyelenggaraan pelaksanaan di lapangan.

Periode ini pembinaan dan pendekatan program yang semula berorientasi pada kesehatan ini mulai dipadukan dengan sector-sektor pembangunan lainnya, yang dikenal dengan Pendekatan Integratif (Beyond Family Planning). Dalam kaitan ini pada tahun 1973-1975 sudah mulai dirintis Pendidikan Kependudukan sebagai pilot project.

Periode Pelita III (1979-1984)

Periode ini dilakukan pendekatan Kemasyarakatan (partisipatif) yang didorong peranan dan tanggung jawab masyarakat melalui organisasi/institusi masyarakat dan pemuka masyarakat, yang bertujuan untuk membina dan mempertahankan peserta KB yang sudah ada serta meningkatkan jumlah peserta KB baru. Pada masa periode ini juga dikembangkan strategi operasional yang baru yang disebut Panca Karya dan Catur Bhava Utama yang bertujuan mempertajam segmentasi sehingga diharapkan dapat mempercepat penurunan fertilitas. Pada periode ini muncul juga strategi baru yang memadukan KIE dan pelayanan kontrasepsi yang merupakan bentuk “Mass Campaign” yang dinamakan “Safari KB Senyum Terpadu”.

Periode Pelita IV (1983-1988)

Pada masa Kabinet Pembangunan IV ini dilantik Prof. Dr. Haryono Suyono sebagai Kepala BKKBN menggantikan dr. Suwardjono Suryaningrat yang dilantik sebagai Menteri Kesehatan. Pada masa ini juga muncul pendekatan baru antara lain melalui Pendekatan koordinasi aktif, penyelenggaraan KB oleh pemerintah dan masyarakat lebih disinkronkan pelaksanaannya melalui koordinasi aktif tersebut ditingkatkan menjadi koordinasi aktif dengan peran ganda, yaitu selain sebagai dinamisator juga sebagai fasilitator. Disamping itu, dikembangkan pula strategi pembagian wilayah guna mengimbangi laju kecepatan program.

Pada periode ini juga secara resmi KB Mandiri mulai dicanangkan pada tanggal 28 Januari 1987 oleh Presiden Soeharto dalam acara penerimaan peserta KB Lestari di Taman Mini Indonesia Indah. Program KB Mandiri dipopulerkan dengan kampanye LIngkaran Biru (LIBI) yang bertujuan memperkenalkan tempat-tempat pelayanan dengan logo Lingkaran Biru KB.

Periode Pelita V (1988-1993)

Pada masa Pelita V, Kepala BKKBN masih dijabat oleh Prof. Dr. Haryono Suyono. Pada periode ini gerakan KB terus berupaya meningkatkan kualitas petugas dan sumberdaya manusia dan pelayanan KB. Oleh karena itu, kemudian diluncurkan strategi baru yaitu Kampanye Lingkaran Emas (LIMAS). Jenis kontrasepsi yang ditawarkan pada LIBI masih sangat terbatas, maka untuk pelayanan KB LIMAS ini ditawarkan lebih banyak lagi jenis kontrasepsi, yaitu ada 16 jenis kontrepsi.

Pada periode ini ditetapkan UU No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 khususnya sub sector Keluarga Sejahtera dan Kependudukan, maka kebijaksanaan dan strategi gerakan KB nasional diadakan untuk mewujudkan keluarga Kecil yang sejahtera melalui penundaan usia perkawinan, penjarangan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga dan peningkatan kesejahteraan keluarga.

Periode Pelita VI (1993-1998)

Pada Pelita VI dikenalkan pendekatan baru yaitu “Pendekatan Keluarga” yang bertujuan untuk menggalakan partisipasi masyarakat dalam gerakan KB nasional. Dalam Kabinet Pembangunan VI sejak tanggal 19 Maret 1993 sampai dengan 19 Maret 1998, Prof. Dr. Haryono Suyono ditetapkan sebagai Menteri Negara Kependudukan/Kepala BKKBN, sebagai awal dibentuknya BKKBN setingkat Kementerian.

Pada tangal 16 Maret 1998, Prof. Dr. Haryono Suyono diangkat menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan merangkap sebagai Kepala BKKBN. Dua bulan berselang dengan terjadinya gerakan reformasi, maka Kabinet Pembangunan VI mengalami perubahan menjadi Kabinet Reformasi Pembangunan Pada tanggal 21 Mei 1998, Prof. Haryono Suyono menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesra dan Pengentasan Kemiskinan, sedangkan Kepala BKKBN dijabat oleh Prof. Dr. Ida Bagus Oka sekaligus menjadi Menteri Kependudukan.

Periode Pasca Reformasi

Dari butir-butir arahan GBHN Tahun 1999 dan perundang-undangan yang telah ada, Program Keluarga Berencana Nasional merupakan salah satu program untuk meningkatkan kualitas penduduk, mutu sumber daya manusia, kesehatan dan kesejahteraan sosial yang selama ini dilaksanakan melalui pengaturan kelahiran, pendewasaan usia perkawinan, peningkatan ketahanan keluarga dan kesejahteraan keluarga. Arahan GBHN ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) yang telah ditetapkan sebagai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000.

Sejalan dengan era desentralisasi, eksistensi program dan kelembagaan keluarga berencana nasional di daerah mengalami masa-masa kritis. Sesuai dengan Keppres Nomor 103 Tahun 2001, yang kemudian diubah menjadi Keppres Nomor 09 Tahun 2004 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen menyatakan bahwa sebagian urusan di bidang keluarga berencana diserahkan kepada pemerintah kabupaten dan kota selambat-lambatnya Desember 2003. Hal ini sejalan dengan esensi UU Nomor 22 Tahun 1999 (telah diubah menjadi Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004). Dengan demikian tahun 2004 merupakan tahun pertama Keluarga Berencana Nasional dalam era desentralisasi.

Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, yang telah disahkan pada tanggal 29 Oktober 2009, berimplikasi terhadap perubahan kelembagaan, visi, dan misi BKKBN. Undang-Undang tersebut mengamanatkan perubahan kelembagaan BKKBN yang semula adalah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Visi BKKBN adalah “Penduduk Tumbuh Seimbang 2015” dengan misi “mewujudkan pembangunan yang berwawasan kependudukan dan mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera”. Untuk mencapai visi dan misi tersebut, BKKBN mempunyai tugas dan fungsi untuk melaksanakan pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 56 Undang-Undang tersebut di atas. Dalam rangka pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana di daerah, pemerintah daerah membentuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah yang selanjutnya disingkat BKKBD di tingkat provinsi dan kabupaten dan kota yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya memiliki hubungan fungsional dengan BKKBN (pasal 54 ayat 1 dan 2).

Peran dan fungsi baru BKKBN diperkuat dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Kementerian; Peraturan Kepala BKKBN Nomor 82/PER/B5/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Provinsi dan Peraturan Kepala BKKBN Nomor 92/PER/B5/2011 tentang Organisasi Tata Kerja Balai Pendidikan dan Pelatihan Kependudukan dan Keluarga Berencana, sehingga perlu dilakukan perubahan/penyesuaian terhadap Renstra BKKBN tentang Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Tahun 2010-2014 meliputi penyesuaian untuk beberapa kegiatan prioritas dan indikator kinerjanya.

Pasca Reformasi Kepala BKKBN telah mengalami beberapa pergantian:

Pada Periode Kabinet Persatuan Indonesia, Kepala BKKBN dirangkap oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yang dijabat olehKhofifah Indar Parawansa.

Setelah itu digantikan oleh Prof. Dr. Yaumil C. Agoes Achir pada tahun 2001 dan meninggal dunia pada akhir 2003 akibat penyakit kanker dan yang kemudian terjadi kekosongan.

Pada tanggal 10 November 2003, Kepala Litbangkes Departemen Kesehatan dr. Sumarjati Arjoso, SKM dilantik menjadi Kepala BKKBN oleh Menteri Kesehatan Ahmad Sujudi sampai beliau memasuki masa pensiun pada tahun 2006.

Setelah itu digantikan oleh Dr. Sugiri Syarief, MPA yang dilantik sebagai Kepala BKKBN pada tanggal 24 Nopember 2006.

Sebagai tindak lanjut dari UU 52/2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarha Sejahtera, di mana BKKBN kemudian direstrukturisasi menjadi badan kependudukan, bukan lagi badan koordinasi, maka pada tanggal 27 September 2011 Kepala BKKBN, Dr. dr. Sugiri Syarief, MPA akhirnya dilantik sebagai Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN).

Pada tanggal 13 Juni 2013 akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan mantan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Fasli Jalal sebagai Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

(sumber:bkkbn.go.id)
Share: